Suku Bali
Suku Bali adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali. Biasanya juga disebut Anak Bali, Wong Bali atau Krama Bali, Suku Bali mewariskan kebudayaannya hingga sejarah.
Suku Bali adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali.
Suku Bali berkomunikasi menggunakan bahasa Bali.
Biasanya juga disebut Anak Bali, Wong Bali atau Krama Bali, Suku Bali mewariskan kebudayaannya hingga sejarah.
Berdasarkan asal usulnya, Suku Bali terbagi dua.
Suku Bali Aga dan Suku Bali Majapahit.
Suku Bali Aga adalah penduduk asli pulau Bali, persebarannya terjadi di Nusantara selama zaman prasejarah.
Suku Bali Aga biasanya hidup di gunung dan memiliki dialek bahasa Bali.
Desa Trunyan dan Tenganan adalah tempat Suku Bali Aga melestarikan nilai leluhur yang diwariskan.
Untuk menjaga kelestarian budaya, masyarakat Suku Bali Aga tidak diperbolehkan menikah dengan warga luar desa.
Apabila terjadi, orang tersebut harus pindah dari desa dan tidak memperoleh hak-hak dari keluarganya.
Suku Bali Majapahit adalah sejumlah rakyat Majapahit yang memilih hidup di Bali setelah Majapahit runtuh pada abad ke-15.
Kerajaan Majapahit menguasai Bali pada 1343 Masehi.
Bahasa yang digunakan Suku Bali Majapahit lebih mirip dengan bahasa Jawa.
Mayoritas masyarakat Bali menganut kepercayaan Hindu.
Suku Bali Hindu percaya adanya satu Tuhan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas tiga wujud, yaitu Brahmana (menciptakan), Wisnu (yang memelihara) dan Siwa (yang merusak).
Suku Bali juga memiliki tempat ibadah yang sangat sakral.
Tempat ibadah agama Hindu adalah Pura yang memiliki sifat berbeda, antara lain Pura Besakih (umum untuk semua golongan), Pura Desa / Kayangan Tiga (untuk kelompok sosial setempat) dan Sanggah (khusus untuk leluhur).
Rumah Adat
Rumat adat Suku Bali dibangun dengan mengacu pada keselarasan hubungan antara manusia, alam dan Sang Pencipta.
Konsep pembangunannya bernama Asta Kosala Kosali.
Keselarasan 3 aspek itu disebut dengan Teri Hita Kirana.
Penataan pembangunan dilandaskan pada anatomi tubuh manusia.
Pengukurannya pun menggunakan satuan tersendiri yang dihitung dengan ukuran bagian tubuh.
Misalnya, musti merupakan ukuran yang dihitung dari dimensi ukuran kepalan tangan pada posisi ibu jari yang menghadap ke atas.
Ada pula depa yang merupakan ukuran ketika dua bentang tangan direntangkan dari arah kiri menuju ke kanan.
Konsep Asta Kosala Kosali juga menganut sembilan arah mata angin yang disebut Nawa Sanga.
Berikut ini nama-nama beberapa bangunan rumah adat Bali:
- Angkul-angkul
Angkul-angkul merupakan pintu masuk utama sebelum rumah.
Bentuknya hampir sama dengan Gapura Candi Bentar.
Beda angkul-angkul dengan gapura lain adalah, bangunan ini memiliki atap di atasnya.
- Aling-aling
Fungsi aling-aling adalah sebagai pembatas antara Angkul-angkul dan pekarangan rumah.
Dinding pembatas disebut penyengkar, atau bisa pula menggunakan patung.
Apabila terdapat aling-aling dalam satu rumah Bali, diyakini rumah tersebut memberi aura positif.
- Sanggah / Pura Keluarga
Bangunan ini biasanya terletak di sudut timur laut dari rumah adat Bali.
Berfungsi untuk tempat beribadah dan berdoa, Sanggah juga bisa disebut sebagai Pamerajan.
- Bale Manten
Terletak di sebelah utara, bale manten diperuntukkan bagi kepala keluarga atau anak gadis.
Bale tersebut berbentuk persegi panjang dan memiliki 2 bale lainnya di sebelah kanan dan kiri.
- Bale Dauh
Untuk menerima tamu, masyarakat Suku Bali memiliki tempat bernama Bale Dauh.
Letaknya di bagian dalam ruangan, posisi lantai Bale Dauh harus lebih rendah di banding Bale Manten.
Peletakannya ada di sisi barat dengan tiang-tiang penyangga di ruangan ini.
- Bale Sekapat
Bale Sekapat merupakan tempat bersantai anggota keluarga.
- Bale Gede
Di rumah adat Bali, Bale Gede atau Bale Adat biasa digunakan sebagai tempat kumpul keluarga besar.
Apabila ada ritual adat, Bale Gede dijadikan tempat menyajikan makanan khas Bali dan membakar aneka sesaji.
- Pawaregen
Di rumah adat Bali, dapur disebut dengan istilah Pawaregen.
Peletakannya biasanya di barat laut atau selatan dari rumah utama.
- Lumbung
Untuk menyimpan bahan makanan, Lumbung digunakan sebagai tempat khusus.
Pakaian Adat
Pakaian adat Bali memeiliki empat tingkatan berdasarkan kelengkapan dan waktu penggunaannya.
- Adat Bali Payas Agung
Dalam bahasa Bali, payas berarti riasan sementara agung berarti besar atau mewah.
Payas Agung digunakan saat upara pernikahan atau keagamaan yang istimewa di bali.
Pakaian ini biasanya merupakan perpaduan warna merah, emas serta putih.
Penggunaan mahkota juga kerap terjadi tak hanya untuk laki-laki, tetapi juga perempuan.
Untuk pria, biasanya disertai keris dan bawahan songket yang mewah.
Untuk perempuan, kain atau sesanteng dililitkan di tubuh bagian atas sementara bawahannya menggunakan kain tenun songket.
- Adat Bali Payas Jangkep
Dalam bahasa Bali, Jangkep diterjemahkan sebagai busana/riasan yang lengkap.
Berbeda dengan Payas Agung, aksesoris Jangkep lebih lengkap namun tidak memiliki kesan glamor atau mewah.
Payas Jangkep digunakan saat lamaran pernikahan, upacara kemanusiaan atau acara wisuda.
- Adat Bali Payas Madya
Kata Madya berarti busana/riasan sedang atau menengah.
Pemakaiannya lebih fleksibel dan bisa digunakan kapan saja.
Untuk pria, biasanya menggunakan perpaduan baju, kampuh dan umpal, kain panjang, sabuk atau kombinasi destar, selempot, kain panjang, dan sabuk.
Untuk wanita, biasanya menggunakan baju atau kebaya, kain atau wastra, sesenteng, dan sabuk atau stagen.
Payas Madya digunakan saat sembahyang ke Pura, hari raya umat Hindu, upacara kremasi dan lain-lain.
- Adat Bali Payas Alit
Kata alit dalam bahasa Bali berarti kecil atau sederhana.
Jenis pakaian adat ini yang paling sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari.
Digunakan oleh orang Bali saat membersihkan tempat suci, kegiatan gotong royong dan lain-lain.
Tarian Adat
Suku Bali memiliki banyak sekali tarian adat yang unik dan indah.
Salah satunya, tari Kecak yang paling terkenal dan menjadi salah satu yang diburuh oleh wisatawan.
Diciptakan oleh Wayan Limbak dan Walter Spies pada tahun 1930 oleh seniman Jerman, tarian ini menceritakan tentang Ramayana.
Para penari duduk melingkar dan menyerukan "cak" seraya mengangkat kedua lengan ke atas.
Hal itu menggambarkan tentara kera saat membantu Rama melawan Rahwana.
Selain itu ada pula Tari Barong yang menceritakan tentang perseteruan antara kebajikan dan kejahatan.