Suku Kajang
Salah satu suku yang masih memegang teguh budaya dan adatnya adalah Masyarakat Adat Ammatoa Suku Kajang. Suku Kajang ini terletak Daerah Kajang, Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan. Desa Adat Suku Kajang terletak sekitar 200 km arah timur kota Makassar.
Berbeda masyarakat di daerah Kabupaten Bulukumba lainnya, Suku Kajang sampai saat ini masih sangat memegang erat dan menjunjung tinggi budaya dari nenek moyang. Masyarakat Adat Ammatoa Kajang merupakan masyarakat yang masih memegang teguh kehidupan yang harmonis dan selaras dengan lingkungan dan selalu menjaga hubungan relasi dengan alam dan leluhurnya.
Ammatoa Kajang
Secara etimologi, Ammatoa terdiri dari dua kata yaitu Amma (bapak) dan Toa (tua). Pengertian Ammatoa bukan hanya bapak yang sudah tua umurnya namun lebih kepada seseorang yang dituakan karena memiliki pengetahuan yang luas serta berperilaku baik dan bijak.
Istilah Ammatoa dimulai sejak datangnya 'Tomanurung' (menurut kepercayaan; Tomanurung adalah cikal bakal masyarakat di Sulawesi Selatan). Ammatoa yang petama adalah Datuk Moyang dan sampai sekarang sudah Ammatoa yang ke-22 sejak Ammatoa yang pertama.
Ammatoa merupakan pemimpin adat tertinggi dalam komunitas Adat Kajang dengan masa jabatan seumur hidup, artinya sampai orang yang sudah dilantik menjadi Ammatoa meninggal dunia. Pengangkatan Ammatoa tidak berdasarkan pilihan rakyat, bukan juga merupakan pewarisan dari orang tuanya ataupun penunjukan dari pemerintah.
Masyarakat memahami dan mempercayai bahwa Ammatoa ditunjuk langsung oleh Turiek Akrakna (Tuhan Yang Maha Kuasa) melalui proses ritual di dalam hutan keramat bernama hutan Tombolo.
Yang paling penting adalah seorang Ammatoa haruslah orang yang jujur, tidak pernah menyakiti, menjaga diri dari perbuatan jahat, tidak merusak alam serta senantiasa mendekatkan diri pada Turiek Akrakna (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Desa Tana Towa Suku Kajang
Ammatoa tinggal di Desa Tana Towa yang merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Menariknya, desa ini berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan adat milik tradisi adat Kajang. Tana berarti Tanah dan Towa artinya Tua, Tana Towa artinya tanah tertua atau tanah yang pertama kali muncul di dunia. Menurut mitos yang tersebar pada masyarakat suku ini, pada awalnya dunia hanyalah berupa gumpalan tanah yang berbentuk seperti tempurung kelapa yang luasnya hanya sejengkal dan dikelilingi oleh lautan. Tanah tersebut kemudian melebar seiring berjalannya waktu dan hadirlah manusia pertama bernama Bohe Ammatoa (Ammatoa Pertama).
Bahasa Suku Kajang
Masyarakat adat Kajang menggunakan bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Konjo merupakan bahasa Makassar yang berkembang dalam satu komunitas masyarakat seperti masyarakat adat Kajang. Kebanyakan masyarakat adat Desa Tana Toa tidak pernah merasakan bangku pendidikan secara formal. Maka tidak heran sangat sulit dan sedikit sekali menemukan masyarakat adat Kajang yang mampu berbahasa Indonesia.
Aturan Suku Adat Kajang
Dalam keseharian ada larangan dan keharusan yang diterapkan di masyarakat, seperti Kendaraan bermotor dilarang memasuki wilayah kawasan adat, selain itu setiap orang diwajibkan memakai pakaian hitam dan tidak beralas kaki bila memasuki kawasan adat.
Warna hitam adalah warna yang tua, sesuai dengan tanah ini yang juga merupakan tanah yang tua. Hitam adalah warna yang mampu melebur kesemua warna yang ada menyatu menjadi warnanya.
Melepaskan alas kaki berarti kita langsung bersentuhan langsung dengan tanah, dengan begitu kita akan sadar tentang hakikat penciptaan kita yang dari tanah. Menyentuh tanah secara langsung akan senantiasa mengingat bahwa pada akhirnya kita pun akan kembali ke tanah dan menjadi sesuatu yang tak lagi hidup. Artinya, mengingatkan kita terhadap kematian yang akan dikuburkan di dalam tanah.
Dalam kawasan adat tidak diperbolehkan penggunaan penerangan listrik, pada malam hari penerangan hanya mengandalkan penerangan tradisional.
Kepercayaan Suku Kajang
Ajaran utama agama suku Kajang adalah Patuntung. Agama Patuntung adlaah juka manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran maka manusia harus menyadarkan diri pada tiga pilar utama: menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna (Tana Toa atau lingkungan secara umum) dan nenek moyang (Tomanurung atau Ammatoa).
Agama Patuntung merupakan hal dasar bagi masyarakat suku Kajang untuk percaya kepada Turiek Akrakna. Suku Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah Sang Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.
Rumah Adat Suku Kajang
Rumah adat Suku Kajang tidak jauh berbeda bentuknya dengan dengan rumah adat suku Bugis, Makassar yang berbentuk rumah panggung. Uniknya setiap rumah dibangun melawan arah terbitnya matahari karena dipercaya mampu memberikan berkah.